titik tengah INDONESIA,

ditandai persis ditengah sebuah situs Megalitikum berupa lingkaran Batu membentuk angka Nol bernama GARUGA. Ditengah lingkaran terdapat batu yang menjadi titik pertengahan INDONESIA.

Selamat datang di Umpungeng,

Sebuah kawasan yang terjaga kemurnian alamnya sejak dulu,kini dan Isnya Allah dimasa yang akan datang. Mari kita jaga Umpungeng agar tetap menjadi sumber mata air kita bersama.

GARUGAE, symbol titik tengah INDONESIA

Lingkaran Batu yang disebut Lalebata (Garugae) merupakan situs megalitikum peninggalan sejarah Bugis.

Batu Cinta

Lubang batu yang terbentuk secara alami oleh terpaan air di pinggir sungai Batuletengnge Umpungeng.

Alam Umpungeng

Menyimpan aneka flora dan fauna yang warna warni, mari nikmati kesejukan alamnya dan jaga kelestariannya.

Kawasan pertanian

Mayoritas warga Umpungeng berprofesi sebagai Patani,sebagian besar bertani Cengkeh, sisanya menanam kopi, fanili, kemiri, pangi dan berbagai jenis umbi umbian lainnya.

Pengrajin Gula Aren?

luas areal hutan pohon aren di kawasan Umpungeng mencapai 620 ha (4% dari luas hutan) menjadikan kawasan ini sebagai sentra Gula aren.

Kus kus

Kus-kus atau orang Umpungeng menyebutnya Memu adalah hewan yang paling ramah dan juga langkah, hidup di alam liar namun jinak sama manusia.

Burung Rangkong Sulawesi

Burung Rangkong (Alo bagi orang Umpungeng)merupakan salah satu hewan endemik di Kawasan Umpungeng yang dilindungi,mari kita jaga dan lestarikan keberadaannya

Rusa Sulawesi

Rusa jenis ini hidup berkelompok dan masih bisa dijumpai di kawasan Umpungeng, hanya saja warga sering melakukan perburuan liar yang mengakibatkan Rusa Sulawesi ini terancam punah. Ayo kita lindungi!

Kawasan resapan air

Aliran 5 sungai yang bermuara pada sungai langkemme menjadi pemasok utama irigasi pertanian untuk kawasan Kabupaten Soppeng dan sekitarnya.

Aliran sungai-sungai yang sejuk dan indah

Sungainya mengalir sepanjang tahun, disepanjang sungai dipenuhi tumbuh-tumbuhan herbal yang kaya manfaat untuk obat ataupun nutrisi bagi kehidupan kita.

Hamparan bukit Umpungeng

Deretan 3 bukit menyerupai manusia yang sedang terbujur (Wuju), Inilah tanah leluhur yang hampir luput dalam sejarah.

Pesona Keindahan Air Terjun

Kejernihan dan kebersihan airnya memberi kesegaran dan kesan alam yang kuat

Donasi Pohon Aren

Ayo berpartisipasi untuk menjaga sumber mata air bersama

Pembangunan Masjid Nol Satu

Sebagai sarana ibadah ditengah kesejukan alam sekaligus sbagai simbol titik pertengahan Indonesia.

ceo

SEO Links Exchanges, Blog Link Building Service Build Your Links For Free, Links Building Service SEO Links Attitude | Free SEO Links Building Free Backlink Service, Links Building 4 Free

Kamis, 01 Maret 2012

Rencana Pembangunan Jalan Dusun yang lebih layak

Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, mayoritas masyarakat Umpungeng  bekerja sebagai petani. Warga bercocok tanam dengan cara dan pola tradisional sebagaimana yang dilakukan oleh para orang tua terdahulu. Hal tersebut berlangsung secara turun temurun hingga saat ini tanpa sentuhan teknologi. Yang sedikit berbeda adalah sebagian warga kini sudah menggunakan telephon genggam meski harus berkeliling kampung mencari titik-titik lokasi yang terjangkau jaringan. Kehadiran teknologi komunikasi inipun belum banyak membantu dalam meningkatkan kualitas produk pertanian, mulai dari cara pembibitan tanaman, merawat hingga panen semuanya berproses sebagaimana kebiasaan-kebiasaan yang dilakoni orang-orang tua terdahulu dari generasi-kegenerasi. Meski demikian, kebiasaan-kebiasaan tersebut sesungguhnya mengandung pelajaran dan kearifan, namun akan lebih baik lagi jika dipadukan dengan sentuhan Ilmu pengetahuan dan teknologi.
Demikian halnya kegiatan para pengrajin gula aren (massari), para pengrajin gula aren menjalani rutinitas kesehariannya sebagai Penyadap aren dengan cara tradisional dan dengan extra kerja keras yang sarat   dengan resiko tinggi. Mulai dari merakit tangga pohon enau, mendedar bunga, menyemai, menyadap pagi dan sore, mengumpulkan kayu bakar, mengolah nira hingga menjadi gula aren semuannya membutuhkan kerja keras yang tak jarang berujung pada resiko maut karena terjatuh atau tersiram gula cair panas.

Apakah pasca panen warga dapat langsung menikmati hasilnya? Ternyata belum, para ibu rumah tangga dan anak-anak usia sekolah mereka harus mengangkut produk-produk pertanian dan hasil olahan gula aren dengan cara menjungjung (majjujung) atau memikul (mallempa) dari tempat produksi (Assaring-e) ke dusun tetangga tempat para pembeli hasil bumi yang berjarak 10 km dengan berjalan kaki . Jalan yang dilalui pun bukan jalan datar, bukan pula jalan trotoar yang dirangcang khusus oleh para arsitektur hebat  untuk memanjakan masyarakat perkotaan yang sudah jarang menyentuh tanah apalagi berjalan kaki diatas tanah lumpur atau bebatuan. Jalan yang dilalui adalah jalan setapak yang terbentuk secara alami oleh tapak kaki-kaki telanjang para penduduk yang lalu lalang menghantarkan hasil-hasil buminya untuk ditukarkan dengan bahan kebutuhan hidup.


 Alhamdulillah kini terjadi perubahan yang menggembirakan bagi warga, sekitar 5 tahun yang lalu seorang Mantri petugas Puskesmas kecamatan Lalabata, Kab.Soppeng bernama Bapak Darwis berkunjung ke Umpungeng  untuk menolong seorang warga yang tengah sekarat akibat penyakit tahunan yang diderita. Karena tidak terbiasa berjalan kaki maka Pak Mantri bersama dengan temannya memaksakan diri mengendarai kendaraan dinasnya hingga sampai ke Umpungeng. Ternyata hal ini menjadi moment penting awal mulanya Umpungeng terjangkau kendaraan bermotor. Apakah jalan setapak pada saat itu medannya datar dan nyaman? Tidak! Bahkan jauh dari layak. Kondisi lereng pegunungan, jurang, tanjakan dan turunan terjal, sungai bebatuan serta  jalan yang berkelok-kelok menukik ditemui di sepanjang perjalanan,  semuanya dikerjakan secara swadaya masyarakat semata-mata untuk kebutuhan jalan kaki.

Cerita tentang swadaya pembangunan jalan (gotong-royong) warga Umpungeng merupakan cerita panjang bahkan telah adah jauh sebelum penulis lahir. Konon menurut cerita orang tua yang kini berusia rata-rata 60 tahunan, bahwa dulu sejak masih lajang, warga Umpungeng diwajibkan bergotong-royong membangun jalan dari kota kecamatan sampai ke rumah Kepala Dusun (saat ini Kantor Desa Umpungeng) setiap 1 atau 2 kali dalam seminggu. Mereka harus menempuh perjalanan yang berjarak 20-30 km dengan jalan kaki untuk sampai ke lokasi awal mula pembangunan jalan. Tidak jarang mereka meninggalkan pekerjaan utama mereka dan membawa bekal alakadarnya (Maddoko Inanre) demi memenuhi kewajiban bergotong royong membangun jalan yang kelak dikemudian hari, hanya di nikmati oleh dusun tetangga bersama orang-orang perkotaan yang datang menyerbu kawasan perkebunan Desa Umpungeng. Sementara warga Dusun Umpungeng yang sesungguhnya berlokasi sekitar 30 km dari pusat pemerintahan Desa tersebut harus mengelus dada dan berjuang sendiri merintis jalan penghubung desanya yang dapat dirasakan langsung oleh warga Dusun Umpungeng.
    
Perjuangan panjang itu kini perlahan membuahkan hasil, usaha swadaya masyarakat selama hampir 45 tahun kini sudah dapat dilalui kendaraan bermotor meski perjalanan belum bisa sepenuhnya dinikmati akibat dikondisi jalan yang sempit (lebar 1 meter) dan becek akibat tanah lumpur atau hamparan bebatuan  besar yang membuat pengendara ajluk-ajlukan di atas kendaraannya. Namun paling tidak sudah dapat mempersingkat jarak yang tadinya perjalanan dari Desa Gattareng ke Umpungeng membutuhkan waktu 3 s.d. 3,5  jam perjalanan dengan berjalan kaki, kini dengan kendaraan bermotor hanya membutuhkan waktu 30-60 menit. Dengan akses yang lebih mudah, masyarakat luar juga kini mulai banyak berkunjung untuk silaturrahim atau menikmati pemandangan alam Umpungeng. Kondisi ini memberi dampak positif terhadap roda perekonomian warga sekaligus meningkatkan wawasan dan ilmu pengetahuan warga melalui proses interaksi dengan para tamu yang datang.

Program Lanjutan
Perjuangan panjang warga Umpungeng membangun jalan desa kini perlu tindakan lanjutan demi terwujudnya jalan yang layak dan nyaman.  Kondisi medan yang berat ditambah curah hujan yang tinggi membutuhkan perencanaan dan perancangan jalan yang cermat . Saat ini warga terus bergotong royong memperbaiki jalan dengan skala prioritas pada medan yang paling berat. Ada sejumlah sumbangan masyarakat luar berupa uang, semen, pasir ataupun kayu sebagai bahan pembuatan jembatan darurat kini tengah di upayakan penerapannya. Kami berharap suatu saat pemerintah Kabupaten Soppeng memberi perhatian untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Testimoni Pengunjung